Rabu, 07 April 2010

Jika aku mati...

Badanku sedang tak mau kompromi hingga kemudian flu dan demam datang bertandang. Akibat kecapekan, mungkin. Lalu terbersit tentang kematian…


Kehidupan hanya persinggahan sementara. Kata orang, kehidupan adalah sebuah wahana penentuan akan berada dimana kita nantinya. Untuk memutuskan tempat sejati bagi kita. Akankan surga yang kenikmatannya takkan mampu terbayang oleh kita? Ataukah neraka yang bahkan bayangannyapun enggan kita bayangkan? Itulah sedikit hakekat kehidupan yang sanggup kudefinisi…


Lalu aku membayangkan bagaimana jika aku mati. Bukan surga dan neraka yang kubayangkan. Karena itu diluar jangkauanku. Bukan pula cara dan kapan aku mati. Karena itu akan membuatku malah tak nyaman jalani hidup. Aku membayangkan tentang reaksi orang- orang disekitar. Apa meraka akan menangis? Tangisan apa itu? Tangisan sedih, tangisan bahagia atau tangisan kelegaan karena akhirnya aku tak lama- lama menderita di dunia ini? Yang mana? Apa mereka akan merasa kehilangan? Sebesar apa kehilangan itu? Apa yang tak lagi mereka temui jika aku mati? Lalu berapa lama waktu yang meraka perlukan untuk kembali ke kehidupan normal mereka? Kehidupan yang tanpa ingatan bahwa aku sudah mati. Kehidupan yang telah tanpa aku. Aku benar ingin tahu semuanya. Tapi tak mungkin sekarang. Meski demikian, aku pun tak yakin akan ada kesempatan buat mengetahui semua jawaban itu. Karena aku harus mati dulu agar semua tanya itu bertemu muka dengan jawab. Lalu disaat aku mati, aku tak yakin masih punya bentuk pikiran seperti itu. Kemungkinan aku sudah sibuk dengan para malaikat…


Apa kamu akan bersedih jika aku mati?
Berapa lama sedihmu itu?

Hari hitam putih....

Dahi telah lelah menghindari peluh yang sejak awal siang tadi menyentuh raga. Mungkin dia pikir perjuangan akan jadi sebuah kesia- siaan karena nyatanya siang begitu pro terhadap gerah. Dan aku masih disini. Di sebuah kamar yang entah karena apa menjadi lebih gerah rasanya daripada ruangan lain dirumah hijau ini. Bisa jadi karena konstruksi bangunan kamar ini terlampau toleran terhadap gerah. Atau karena suhu udara sedang begitu memuncak. Bisa juga karena pengaruh beban hidup yang kian jauh dari kata remeh. Apapun alasannya, yang jelas aku masih mengabdi rasa disini bersama sebuah kipas angin kecil oleh- oleh masa lalu. Juga dengan nada- nada masa kini yang kudengar dari SE W550i ini…


Beberapa hari ini terasa begitu tidak menyenangkan. Semua bentuk kesenangan dan kelegaan rasa mungkin sedang mnegabdi rasa pada nyawa lain. Aku harus berbagi dengan nyawa- nyawa, memang. Dan sekarang mereka sedang bukan untukku. Meski aku sudah berusaha menikmati semuanya secara maksimal, tapi tetap saja aku merasa gagal. Lalu ragaku terasa kurang sehat. Mungkin gejala masuk angin. Parahnya aku tak punya cara sembuhkan diri. Karena aku tak begitu mahir tentang cara penyembuhan. Suntuk kemudian menekan hati. Alhasil semua yang ada terasa tak berasa karena hati yang adalah organ perasa kini sedang terdesak suntuk. Bahkan Vaska Alteria tak mampu memberi sedikit kesenangan untukku. Va juga terasa begitu tawar dan tak berguna…


Senin datang perlahan dan lupa membawa Selasa bersamanya. Lalu terpaksa aku mencari- cari hari Selasa di sekujur lipatan masa. Kubongkar kembali masa dulu. Hanya agar bisa dapati kembali Selasa. Masalah belum juga usai. Rabu tiba- tiba menghilang saat kalender membutuhkannya. Bisa kudengar jeritan lirih kalender memanggil- manggil Rabu. Karena dia tak mau malu kehilangan Rabu. Lalu Rabu datang dengan tergesa sambil tanpa henti ucapkan maaf. Nafasnya kembang kempis. Kamis dan Jum’at datang berduaan karena mereka tak mau mendengar jeritan lirih kalender lagi. Tak mau bernasib sama dengan Selasa. Bisa jadi mereka ingin membuktikan pengabdiaannya terhadap waktu. Meski mereka tak bawa masalah, tapi tetap ada yang kurang. Mereka datang tergesa. Takut terlambat hingga akhirnya melupakan beberapa warna rasa yang harusnya mereka bawa serta. Alhasil Kamis dan Jum’at lalu menjadi gambaran klise hitam putih. Terlihat dan terasa begitu membosankan. Lalu kupesan pada mereka agar lebih teliti di kemudian hari. Mereka mengangguk lemah sambil terus merasa bersalah. Ya sudahlah…


Sekarang masih Jum’at. Tanpa warna. Hanya hitam putih. Membosankan. Tak bisa terlalu dinikmati. Sedangkan kipas angin kecil itu masih kupaksa terus menghadap pada satu arah. Yaitu kearahku. Karena aku benar tak tahan gerah. Peluh tertahan di bagian dalam organ tubuh. Namun gerah masih begitu kuat lindungi diri dari cumbuaan angin buatan ini. Gerah tanpa peluh…


Mungkin inilah konsekuensi dari sebentuk kehidupan tanpa mimpi. Dari sebuah nyawa bernafas tanpa keberanian untuk bermimpi. Tanpa sesuatu yang dinanti. Juga tanpa harapan yang bisa jadi penguat. Semua yang ada terasa begitu sia- sia. Semua yang ditunjukkan alam hanya sebagai sebuah keharusan saja. Bukan sebagai petunjuk untuk dapati mimpi. Tapi aku masih begitu kecewa dengan yang dulu. Aku masih perlu masa lebih lama untuk menyembuhkan luka hati karena kehidupan yang dulu begitu keras menempaku. Hingga aku terjatuh. Lecet sedikit. Tapi lalu aku lupa. Lupa menyentuhkan obat hingga lecet itu memburuk. Begitu sakit dirasa. Dan jera yang kini tertinggal. Jera untuk kembali melaju diatas rel hidup. Aku masih bertengger di sebuah stasiun hidup. Berhenti sampai dapati kembali nyali untuk berlari mengejar ketertinggalan. Doakan aku bisa segera sembuh…


Yang terdengar sekarang adalah Detik (untuk dikenang) oleh The Video…
Melalui Winamp laptop…


….
Sudahlah sayangku jangan pernah sesali yang terjadi
Kini kita bertemu hanya tuk melepaskan rindu
Nikmati detik indah yang mungkin takkan pernah terulang
Semoga bagimu kan menjadi satu yang indah tuk dikenang

Lupakan cinta kita dulu yang kan membuka luka lama
Anggap saja tak pernah ada cerita cinta berdua
Kupun tak pernan meminta tuk kembali hati ini bersama
Kutahu dilubuk hatimu lentara takkan padam
Karna ku yang terbaik




Sejak awal mendengarnya, aku langsung jatuh hati pada lirik dan nadanya yang terdengar begitu acuh. Sebuah permintaan untuk melupakan semua yang dulu pernah terjalin indah. Tak ada keinginan untuk merasai kembali indahnya masa lalu. Karena adanya sebuah kesadaran bahwa yang dulu hanya ada untuk dikenang, bukan untuk dirasai kembali. I do love this song!!!


Cukup tentang The Video. Kini aku mau beralih ke Lost in Love yang kemarin petang kutonton di layar SCTV. Pukul enam sampai delapan lebih malam. Entah diperankan oleh siapa. Kebanyakan pemainnya adalah pendatang baru dunia perfilm-an. Ceritanya begitu biasa. Terkesan begitu anak- anak, malahan. Begitu dongeng. Tapi lumayan untuk dijadikan hiburan di hidupku yang sedang mengklise ini. Aku sempat terhanyut di bagian agak akhir cerita. Dimana Adit yang adalah laki- laki kaku kemudian mau berubah begitu romantis hanya demi sebuah penggambaran cintanya untuk Tita. Romantis. Lalu aku sempat berfikir memperbaiki hubungannya dengan lelakiku. Aku yang sifatnya hampir seperti Adit. Ternyata aku juga mengingini romantisme. Aku mau dengan lelakiku itu. Aku mau kembali mewarna hari dengan kuas kebahagiaan dan warna keromantisan dengannya. Lost in Love does give me a sense of romantismn!!!


Inilah salah satu OST-nya, O Teganya oleh Tangga…



Kini aku disini
Cuma sendiri
Tiada yang mencari
Sampai hati
Sampai begini
Kau tak perduli
Oh teganya




Aku merasa benar memahami lirik itu…

Lupakan lelaki...

Kemarin petang aku menggunting beberapa helai rambutku. Aku batal menjaganya. Kebosanan sudah semakin mendominasi. Maafkan aku, helai- helai…

Belakangan ini aku jadi semakin sering merangkai kata tentang lelaki. Tak hanya satu. Ada begitu banyak. Hingga aku akhirnya sadar dan menjadi begitu muak. Bagaimana mungkin aku mengukir kata lewat hati tentang para lelaki yang pernah begitu menyakiti rasaku. Bagaimana mungkin mereka datang kembali sebagai sumber inspirasiku? Kurasa ada yang tak beres dengan konstruksi otakku…

Sekarang aku sudah kembali tersadar. Tak mau lagi mengukir kata tentang mereka. Tutup buku dan ingatan buat kesakitan masa lalu. Sudah….

Bahkan sekarangpun aku masih tetap saja mengukir mereka. Menyesali dan menuangkan mereka dalam bentuk penyesalan kata. Sama artinya aku masih menjadikan mereka sebagai sumber kata- kata. Meski aku tak mau, tapi nyatanya tak bisa benar lepas. Tapi, kali ini aku mau benar lupakan semua yang pernah ada…

Lupa sejak sekarang…


Aku sudah begitu lapar…

Si Hebat...

Adzan Isya’ terdengar membumbung di hatiku yang Islami. Sejenak aku seakan merasa bagai malam bulan Ramadhan yang tahun ini telah terlalui. Rasanya sedikit mendamaikan nadi. Aura religi masih melambai hasta undang para raga tunaikan kewajiban insani. Tapi sayangnya kali ini aku masih belum suci. Jadi tak mungkin aku membelai air wudlu lalu tunaikan sholat malam ini…

Dan aku masih saja menatap waktu di depan tivi. Masih juga dengan rasa bosan yang terasa begitu berarti. Namun aku tak punya pilihan untuk menghindari. Karena aku hanya sendiri. Dan hatikupun sedang merasa tak punya rencana, apalagi mimpi. Benarnya hanya satu yang kuingini. Tak ada yang lain lagi. Yaitu segera lepas dari keterpurukan menuju masa yang lebih damai. Masa yang sajikan keramaian hati. Masa yang tak lagi menyiksaku dengan kesepian hati dan kesendirian nadi. Aku mau ditemani. Aku mau tak sendiri. Dan aku mau selalu bahagia dalam berbagi…

Jarum jam masih saja berdetak. Lahirkan masa yang hanya bisa merangkak menuju kotak-kotak kehidupanku yang sejak beberapa lama lalu sudah meretak. Meski nyatanya jantungku masih normal berdetak. Meski nyatanya jiwaku terus berteriak. Berteriak agar bisa lepas dari masa yang kali ini hanya berupa bosan dan riak-riak…

Tolong lepaskan aku dari semua beban. Biarkan aku melesatkan nyawa bersama indahnya kenyataan. Biarkan aku terbang sambil bergenggaman tangan bersama keindahan. Biarkan aku menjemputnya untuk bersama-sama rasakan senyuman kehidupan. Tolong hadiahkan sebuah kesempatan untuk merasakan. Jangan biarkan aku terperangkap dalam hampa dan tak berasa karena bosan…

Mauku tak mengeluh. Mauku berhenti berkeluh. Mauku terima apa yang tersuguh. Mauku terus tersenyum meski sambil menahan perih. Mauku terus nyaman meski dalam lautan peluh. Mauku tak pernah berairmata sedih. Dan aku sudah berusaha keras untuk itu semua, namun sayangnya mataku tak lagi sanggup menahan pedih…

Airmataku begitu bening hingga benar tak terlihat. Hanya aku yang bisa merasakannya terserap pori-pori kulit. Sedangkan nyawa-nyawa lain tetap menganggapku manusia kuat. Semua masih saja menilaiku hebat. Mereka tak pernah tahu apa yang sedang benar-benar terjadi karena warna hati memang tak pernah bisa pasti terlihat. Maka biarkan aku menahan semua dan menganggapnya nikmat. Agar semua masih akan tetap memanggilku Si Hebat…

Apa karena aku kurang bersyukur?
Apa karena aku lupa mengukur bahagia?

Benarnya aku lelah mengeluh…
Airmata jiwakupun telah begitu lelah meleleh…
Hatiku sungguh ingin mencerah…
Aku mau segera berlari menuju sebuah entah…

Ya Allah…
Maafkan hambaMu yang sedang lupa ini…
Aku akan selalu kembali padamu lewat sujud ibadah…
Lingkupi jiwaku dengan kabut imani…
Amin…

Puisi hati...

Pernahkah kau merasa terkhianati oleh hati?
Adalah disaat kau merasa begitu yakin olehnya…
Lalu dia ternyata mengubah arah haluan…
Hingga kau merasa harusnya tak memutuskan untuk mengabdi hidup pada sebuah nyawa…
Tapi kau terlanjur memutuskannya…


Dan…


Pernahkah kau menyalahkan waktu?
Adalah disaat kau menyesali keterlambatan pertemuanmu dengan sebuah hati…
Lalu ternyata kau telah terlanjur mengabdi hati pada yang lain…
Hingga lalu kau hanya bisa berkata “seandainya…”


Dan…


Pernahkah kau mengutuk alur kehidupan?
Adalah disaat kau menyadari rute hidup lainnyalah yang sebenarnya lebih membahagiakan…
Tapi, sayang kau tak melangkah kearah itu…
Hingga akhirnya kau melewatkan sebuah hati yang seharusnya adalah takdirmu…


Dan akhirnya…


Pernahkah lalu kau menerima semua kesalahan itu dengan terpaksa?
Hanya karena kau tak pernah punya daya untuk mengubah apapun…
Lalu kau memaksa diri nikmati yang telah kau punya…
Sambil menjadikan apa yang tak pernah sempat kau gapai sebagai mimpi yang tak untuk diwujudkan…


Dan aku pernah…
Aku pernah merasa terkhianati oleh hati…
Pun aku pernah menyalahkan waktu yang salah menempatkan aku dengan dirinya…
Dan akhirnya, dengan terpaksa, kuterima semua kesalahan itu…


Dan kini aku tahu betul fungsi kata “menyesal”…
Lalu aku berjanji untuk hati-hati memilih alur cerita kehidupan…
Karena siapa tahu jika dulu aku memilih belok kanan maka rute akan semakin panjang hingga aku punya daya untuk mengulur lebih banyak waktu guna bertemu denganmu…
Tapi nyatanya, kala itu aku memilih jalan lurus…


Aku terlambat bertemu dengan hatinya…
Dan aku sempat menyesal…
Lalu kini dia merapatkan hati dengan yang lain…
Apa dia sempat menyesali keterlambatan ini?
Semoga yang terbaiklah yang akan terjadi selanjutnya…






Lega…