Rabu, 07 April 2010

Hari hitam putih....

Dahi telah lelah menghindari peluh yang sejak awal siang tadi menyentuh raga. Mungkin dia pikir perjuangan akan jadi sebuah kesia- siaan karena nyatanya siang begitu pro terhadap gerah. Dan aku masih disini. Di sebuah kamar yang entah karena apa menjadi lebih gerah rasanya daripada ruangan lain dirumah hijau ini. Bisa jadi karena konstruksi bangunan kamar ini terlampau toleran terhadap gerah. Atau karena suhu udara sedang begitu memuncak. Bisa juga karena pengaruh beban hidup yang kian jauh dari kata remeh. Apapun alasannya, yang jelas aku masih mengabdi rasa disini bersama sebuah kipas angin kecil oleh- oleh masa lalu. Juga dengan nada- nada masa kini yang kudengar dari SE W550i ini…


Beberapa hari ini terasa begitu tidak menyenangkan. Semua bentuk kesenangan dan kelegaan rasa mungkin sedang mnegabdi rasa pada nyawa lain. Aku harus berbagi dengan nyawa- nyawa, memang. Dan sekarang mereka sedang bukan untukku. Meski aku sudah berusaha menikmati semuanya secara maksimal, tapi tetap saja aku merasa gagal. Lalu ragaku terasa kurang sehat. Mungkin gejala masuk angin. Parahnya aku tak punya cara sembuhkan diri. Karena aku tak begitu mahir tentang cara penyembuhan. Suntuk kemudian menekan hati. Alhasil semua yang ada terasa tak berasa karena hati yang adalah organ perasa kini sedang terdesak suntuk. Bahkan Vaska Alteria tak mampu memberi sedikit kesenangan untukku. Va juga terasa begitu tawar dan tak berguna…


Senin datang perlahan dan lupa membawa Selasa bersamanya. Lalu terpaksa aku mencari- cari hari Selasa di sekujur lipatan masa. Kubongkar kembali masa dulu. Hanya agar bisa dapati kembali Selasa. Masalah belum juga usai. Rabu tiba- tiba menghilang saat kalender membutuhkannya. Bisa kudengar jeritan lirih kalender memanggil- manggil Rabu. Karena dia tak mau malu kehilangan Rabu. Lalu Rabu datang dengan tergesa sambil tanpa henti ucapkan maaf. Nafasnya kembang kempis. Kamis dan Jum’at datang berduaan karena mereka tak mau mendengar jeritan lirih kalender lagi. Tak mau bernasib sama dengan Selasa. Bisa jadi mereka ingin membuktikan pengabdiaannya terhadap waktu. Meski mereka tak bawa masalah, tapi tetap ada yang kurang. Mereka datang tergesa. Takut terlambat hingga akhirnya melupakan beberapa warna rasa yang harusnya mereka bawa serta. Alhasil Kamis dan Jum’at lalu menjadi gambaran klise hitam putih. Terlihat dan terasa begitu membosankan. Lalu kupesan pada mereka agar lebih teliti di kemudian hari. Mereka mengangguk lemah sambil terus merasa bersalah. Ya sudahlah…


Sekarang masih Jum’at. Tanpa warna. Hanya hitam putih. Membosankan. Tak bisa terlalu dinikmati. Sedangkan kipas angin kecil itu masih kupaksa terus menghadap pada satu arah. Yaitu kearahku. Karena aku benar tak tahan gerah. Peluh tertahan di bagian dalam organ tubuh. Namun gerah masih begitu kuat lindungi diri dari cumbuaan angin buatan ini. Gerah tanpa peluh…


Mungkin inilah konsekuensi dari sebentuk kehidupan tanpa mimpi. Dari sebuah nyawa bernafas tanpa keberanian untuk bermimpi. Tanpa sesuatu yang dinanti. Juga tanpa harapan yang bisa jadi penguat. Semua yang ada terasa begitu sia- sia. Semua yang ditunjukkan alam hanya sebagai sebuah keharusan saja. Bukan sebagai petunjuk untuk dapati mimpi. Tapi aku masih begitu kecewa dengan yang dulu. Aku masih perlu masa lebih lama untuk menyembuhkan luka hati karena kehidupan yang dulu begitu keras menempaku. Hingga aku terjatuh. Lecet sedikit. Tapi lalu aku lupa. Lupa menyentuhkan obat hingga lecet itu memburuk. Begitu sakit dirasa. Dan jera yang kini tertinggal. Jera untuk kembali melaju diatas rel hidup. Aku masih bertengger di sebuah stasiun hidup. Berhenti sampai dapati kembali nyali untuk berlari mengejar ketertinggalan. Doakan aku bisa segera sembuh…


Yang terdengar sekarang adalah Detik (untuk dikenang) oleh The Video…
Melalui Winamp laptop…


….
Sudahlah sayangku jangan pernah sesali yang terjadi
Kini kita bertemu hanya tuk melepaskan rindu
Nikmati detik indah yang mungkin takkan pernah terulang
Semoga bagimu kan menjadi satu yang indah tuk dikenang

Lupakan cinta kita dulu yang kan membuka luka lama
Anggap saja tak pernah ada cerita cinta berdua
Kupun tak pernan meminta tuk kembali hati ini bersama
Kutahu dilubuk hatimu lentara takkan padam
Karna ku yang terbaik




Sejak awal mendengarnya, aku langsung jatuh hati pada lirik dan nadanya yang terdengar begitu acuh. Sebuah permintaan untuk melupakan semua yang dulu pernah terjalin indah. Tak ada keinginan untuk merasai kembali indahnya masa lalu. Karena adanya sebuah kesadaran bahwa yang dulu hanya ada untuk dikenang, bukan untuk dirasai kembali. I do love this song!!!


Cukup tentang The Video. Kini aku mau beralih ke Lost in Love yang kemarin petang kutonton di layar SCTV. Pukul enam sampai delapan lebih malam. Entah diperankan oleh siapa. Kebanyakan pemainnya adalah pendatang baru dunia perfilm-an. Ceritanya begitu biasa. Terkesan begitu anak- anak, malahan. Begitu dongeng. Tapi lumayan untuk dijadikan hiburan di hidupku yang sedang mengklise ini. Aku sempat terhanyut di bagian agak akhir cerita. Dimana Adit yang adalah laki- laki kaku kemudian mau berubah begitu romantis hanya demi sebuah penggambaran cintanya untuk Tita. Romantis. Lalu aku sempat berfikir memperbaiki hubungannya dengan lelakiku. Aku yang sifatnya hampir seperti Adit. Ternyata aku juga mengingini romantisme. Aku mau dengan lelakiku itu. Aku mau kembali mewarna hari dengan kuas kebahagiaan dan warna keromantisan dengannya. Lost in Love does give me a sense of romantismn!!!


Inilah salah satu OST-nya, O Teganya oleh Tangga…



Kini aku disini
Cuma sendiri
Tiada yang mencari
Sampai hati
Sampai begini
Kau tak perduli
Oh teganya




Aku merasa benar memahami lirik itu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar